EFWI 2019, Merdi Sihombing Boyong Tenun Daerah Tertinggal ke Belgia
BELGIA-Merdi Sihombing, desainer kondang tanah air untuk pertama kalinya menggelar Eco Fashion Week Indonesia (EFWI) 2019, hari ini Jumat (04/10/19), di Antoon Van Dijk Brasserie, Stadsfeestzzal, Belgia.
Perancang busana yang juga dikenal sebagai disainer Eco Fashion and Ethical Fashion ini menggelar berbagai desain terbarunya dengan materi kain-kain tenun yang dihasilkan oleh para penenun dari berbagai pelosok Indonesia.
Beberapa karya para penenun daerah tertinggal ditampilkan di ajang tersebut, tak terkecuali dari daerah Dairi, Sumatra Utara. Termasuk menampilkan tas-tas cantik yang dijalin dan dianyam oleh perempuan-perempuan yang bermukim di lahan gambut.
Eco Fashion Week Indonesia sebelumnya sudah pernah digelar di Gedung Stovia, Jakarta, menjelang penghujung 2018 silam.
Gebrakan baru desainer yang kerap diundang ke beberapa negara ini didukung berbagai kalangan, selepas mengikuti gelaran Eco Fashion di Perth.
Menurut Merdi Sihombing, Indonesia memiliki potensi besar di bidang fashion ramah lingkungan. Namun, masih belum memiliki blue print (cetak biru) yang tepat sasaran.
Hal ini berbeda dengan negara lain di Asia seperti India dan Vietnam yang sudah memiliki cetak biru tepat sasaran, sehingga karya-karya seninya termasuk kain-kain tradisional dapat diterima bukan hanya di pasar lokal, namun juga di pasar global.
"Kita memang masih memerlukan sumbangsih banyak pegiat yang mau bekerja dari tataran akar rumput. Perempuan memang berperan paling besar sebagai banteng pertahanan di dunia seni. Ada banyak profesi yang hanya bisa dilakukan oleh perempuan, misalnya penenun atau penyulam. Karena itulah saya memang merasa nyaman bekerja sama dengan perempuan di berbagai pelosok Indonesia untuk menghasilkan karya-karya yang luar biasa. Hal ini sungguh sesuai dengan isu SDG yang sekarang ini berfokus pada perempuan," tutur Merdi di sela-sela persiapan fashion show.
Penenun daerah tertinggal
Kegiatan EFWI tak lepas dari dari inisiatif Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT), pemerintah daerah setempat untuk menginsiasi projek kolaborasi ini, yang kemudian mendapatkan dukungan dari Inalum.
Tema yang diangkat adalah SILAHI karena ulos-ulos yang di re-invent semuanya adalah ulos marga Silalahi dan dikerjakan hampir semua oleh partonun marga Silalahi di desa Silalahi Sabungan.
"Proposal yang masuk dari Dairi dianggap menarik, sehingga disetujui walaupun baru masuk di semester dua. Selain itu, community development lain yang juga dilakukan oleh Kemendes PDTT adalah di daerah Barito Kuala. Ini adalah kelanjutan dari kerjasama pada tahun sebelumnya yakni di Alor dan Rote Ndao, yang karya-karyanya sudah kami tampilkan di EFWI 2018," jelas Merdi.
Kerjasama dengan Kemendes PDTT tahun 2018-2019 berupa kegiatan peningkatan kapasitas penenun di daerah tertinggal melalui pewarnaan alam. Mulai dari Kabupaten Alor (23-27 Agustus 2018), Rote Ndao (6-10 November 2018), Lombok Tengah (8-12 Meri 2019), Donggala (29 Juni-4 Juli 2019), Timor Tengah Utara (19-24 September 2019), Nias Selatan (10-14 September 2019), dan Wamena yang rencananya akan dilaksanakan akhir tahun ini.
Selain itu, kolaborasi dengan Badan Restorasi Gambut (BRG) yang dijalin pada tahun 2019, kemudian menelurkan inovasi baru dalam menciptakan desain tas dari bahan purun yang memiliki nilai jual di pasar global.
Purun adalah jenis tumbuhan rumput yang hidup liar di dekat air atau rawa, yang sejenis dengan daun pandan yang hidup di sekitar rawa. Purun biasanya banyak terdapat di provinsi Sumatra Selatan, Kalimantan Selatan.
Purun merupakan jenis tanaman liar yang mudah terbakar kalau dalam keadaan kering, dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk membuat kerajinan tangan.
Salah satu contoh kerjinan tangan yang digunakan dari bahan tanaman purun yaitu tikar, kipas, tas dan lain-lain.
"Cara mengolah purun menjadi bahan baku kerajinan terlebih dahulu dijemur sampai kering, membersihkan kedua ujung purun dengan cara dipotong, purun diberi warna dengan cara direndam ke dalam air panas yang telah diberi warna, setelah diwarnai purun kembali dijemur sampai kering agar warna tidak mudah luntur, pupur ditumbuk agar benar-benar pipih, setelah melewati proses tersebut baru purun benar-benar dapat dijadikan bahan baku. Perbaikan desain kami lakukan dengan berbagai langkah dan pertimbangan, agar tetap memiliki nilai jual di pasar global," terang Merdi.
Merdi mengaku kendala terbesar yang dialaminya adalah mengubah mindset para pengrajin dan pemangku kebijakan.
Indonesia menurutnya harus memiliki sekolah fashion teknologi yang bekerja dari awal tentang tekstil, produk fashion dan strategi marketing.
"Ke depan membawa Indonesia ke kancah global di sustainable fashion. Saya tidak menemukan banyak tantangan dalam melakuan inovasi penggunaan pewarna alam, karena setiap bagian dari tumbuhan pada dasarnya bisa digunakan sebagai pewarna alam. Bahkan limbah atau sampah pun bisa kita jadikan pewarna alam. Bekerja dalam komunal dengan cara memahami hidup mereka, cara berpikir mereka membuat produk-produk yang kita hasilkan sangat menyentuh kehidupan mereka dan membawa perubahan yang besar," tutup Merdi.