Dokter ITS Inovasikan AI Berbasis MRI
Dokter ITS Inovasikan AI Berbasis MRI untuk Optimalkan Diagnosa Penyakit Otak
Penyakit otak seperti Alzheimer dan tumor memerlukan diagnosis yang cepat dan tepat untuk meningkatkan kemungkinan mendapatkan penanganan medis yang efektif.
Menjawab tantangan ini, Dr. Dewinda Julianensi Rumala ST, dokter muda dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), menciptakan sistem Kecerdasan Buatan (AI) untuk mendukung dokter dalam mendiagnosis penyakit otak dengan lebih tepat.
Dewinda menjelaskan, meskipun pencitraan resonansi magnetik (MRI) telah menjadi instrumen utama dalam mendiagnosis penyakit otak, ada kelemahan dalam hal interpretasi gambar MRI yang masih bergantung pada analisis manual oleh tenaga kesehatan.
"Untuk meningkatkan presisi dan kinerja, AI dapat membantu mendeteksi pola penyakit yang mungkin tidak terdeteksi oleh individu,” ungkap perempuan asal Probolinggo ini.
Dalam penelitiannya, lulusan program doktor dari Departemen Teknik Komputer ITS tersebut mengembangkan model pembelajaran mendalam dengan pendekatan deep-stacked ensemble learning. Metode ini memadukan berbagai jaringan saraf buatan untuk menghasilkan prediksi yang lebih stabil dan akurat.
"Tidak ada model tunggal yang sempurna, tetapi kombinasi dari beberapa model dapat menciptakan sistem yang lebih tangguh dan responsif,” tuturnya di Surabaya pada Selasa (15/4).
Inovasi ini juga memanfaatkan Kecerdasan Buatan yang Dapat Dijelaskan (XAI) sehingga dokter dapat memahami proses pengambilan keputusan oleh AI. Dengan teknik Grad-CAM, model dapat menunjukkan area tertentu pada gambar MRI yang dijadikan dasar diagnosis, peningkatan ini membantu membangun kepercayaan dokter terhadap penggunaan AI sebagai alat bantu.
"Ini bukan hanya tentang ketepatan, tetapi juga mengenai keterbukaan agar AI bisa diterima dan dipercaya oleh tenaga medis,” terangnya.
Dewinda menyatakan, inovasi ini sesuai dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) poin 3 yang bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan. Selain itu, pengembangan AI dalam sektor kesehatan juga mendorong inovasi dan kemajuan teknologi kesehatan sejalan dengan SDG poin 9 yang berfokus pada industri, inovasi, dan infrastruktur.
Dia menambahkan, penelitian ini sejalan dengan SDG 10 yang berfokus pada pengurangan kesenjangan. Hal ini karena inovasinya dirancang dengan tingkat presisi yang tinggi agar dapat digunakan oleh beragam kelompok demografis.
"Di samping itu, model yang lebih ringan memastikan teknologi ini menjangkau dan dapat diterapkan di daerah dengan batasan dalam infrastruktur komputasi,” paparnya.
Riset Dewinda tidak hanya mendapat pengakuan dalam lingkup akademik tetapi juga secara internasional. Temuan penelitiannya telah dipublikasikan dalam tiga jurnal internasional dan lima konferensi yang terindeks Scopus, termasuk di Springer Q1. Dia juga berkesempatan untuk menghadiri Workshop MICCAI di Kanada, konferensi prestisius untuk AI dalam analisis gambar medis, di mana ia meraih penghargaan Best Poster Presentation.
Tidak hanya dalam bentuk publikasi ilmiah, bersama dengan dosen pembimbingnya, Prof. Dr. I Ketut Eddy Purnama ST MT, Dewinda juga telah menghasilkan dua paten nasional, yaitu SICOSA2U dan iBrain2U yang berfokus pada sistem klasifikasi penyakit otak yang berbasis AI. Melalui inovasi ini, dia berharap AI tidak hanya berfungsi sebagai alat riset, tetapi juga dapat diterapkan dalam praktik medis sehari-hari untuk meningkatkan kualitas diagnosis terhadap penyakit otak.
Ke depan, Dewinda merencanakan untuk mengembangkan model yang lebih responsif dengan menggunakan dataset yang lebih beragam agar AI dapat memberikan akurasi yang lebih tinggi dalam berbagai keadaan pasien.
"Semoga penelitian ini dapat menjadi langkah awal dalam pengembangan sistem AI di bidang medis yang lebih inklusif dan bermanfaat untuk kesehatan global,” tutup pengulas paper MIDL dan MICCAI tersebut dengan penuh optimisme.
Komentar