Menengok Masjid Sokambang, Warisan Raja-Raja Sumenep
Sumenep-Berlokasi di Desa Kebunagung sekitar satu kilometer dari kompleks makam raja-raja Sumenep (Asta Tinggi), Masjid Sokambang merupakan salah satu bangunan bersejarah dan menjadi saksi bisu perkembangan Islam khususnya di Kabupaten Semenep, Madura, Jawa Timur.
Masjid Sokambang merupakan masjid ketiga yang dibangun oleh kalangan kerajaan di Kabupaten Sumenep, selain Masjid Lajuh yang dibangun oleh Raja Sumenep ke-21 Kanjeng Pangeran Ario Anggadipa (1626-1644) dan Masjid Agung Sumenep yang dibangun pada masa Raja Sumenep ke-31 Panembahan Sumolo Asirudin (1779-1811).
Bahkan ada cerita di kalangan keluarga keraton Sumenep, bahwa Raden Ario Abdul Ghani Atmowijoyo, salah satu bangsawan Sumenep yang dikenal Alim dan Arifbillah, selalu menyempatkan berhenti di masjid ini untuk shalat, sebelum ziarah ke Asta Tinggi.
Kiyai Amiruddin, salah satu tokoh di Desa Kebunagung menuturkan, masjid ini dibangun di masa Sultan Abdurrahman Pakunataningrat, putra Panembahan Sumolo. Jadi, masjid ini dibangun setelah masjid Jamik atau Masjid Agung Keraton.
"Dulu bahkan ceritanya Sultan juga sering ke Masjid ini," katanya melansir laman resmi pemkab Sumunep.
Dulu, sambung Kiai Amir, masjid ini biasa digunakan untuk molang kitab klasik. Yang tercatat mengajar di masjid ini ialah Kiyai Anjuk, Kiyai Bayanullah dan lainnya.
"Mungkin beliau tabarruk pada leluhur dan alim ulama yang biasa sholat di Masjid Sokambang," kata R. Fahrurrazi, salah satu keturunan R.A. Atmowijoyo.
Hingga kini Masjid Sokambang sudah mengalami perbaikan tanpa mengubah unsur klasiknya.
Setiap Jumat, masjid ini masih menyedot warga untuk melaksanakan shalat Jumat. Tak hanya warga setempat, namun dari Desa lain. Alasannya rata-rata sama.
"Di sini masih melestarikan tradisi kuna, khutbahnya tetap bahasa Arab. Tak dicampur dengan bahasa Indonesia atau Madura," kata K. Zain, salah satu warga Desa Pandian yang menjadi jamaah tetap masjid ini.
Arsitektur Masjid
Masji Sokambang berdiri kokoh di antara permukiman padat penduduk di belakang Kantor Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Sumenep.
Dari luar, bangunan masjid terlihat menonjol karena lebih tinggi dari rumah-rumah warga di sekitarnya. Tapi tidak ada papan nama dan informasi yang menunjukkan bahwa tempat itu bersejarah. Yang tampak hanya campuran bangunan tua dan modern dengan menara kecil berjejer.
Ketika memasuki ruang utama masjid, baru tampak sisa-sisa bangunan tua bersejarah yang masih berdiri kokoh, juga tembok-tembok dan struktur batu bata besar dengan dua pintu dengan pengunci kayu sedikit usang yang menyimpan sejarah salah satu masjid tertua di Sumenep itu.
Mimbar tempat imam masjid hanya cukup untuk satu orang. Konon dulu bangunan itu merupakan tempat persinggahan sementara keluarga raja untuk beristirahat sejenak dan beribadah sebelum melanjutkan perjalanan menuju kompleks pemakaman Asta Tinggi.
"Dulu pernah ada saudagar dari Makkah yang datang dan ingin merenovasi total masjid ini, namun sama pemiliknya tidak diperbolehkan dan hanya boleh menambah beberapa bangunan di luarnya untuk perluasan saja," kata Abdul Karim, Takmir Masjid yang sudah puluhan tahun merawat masjid tersebut.
Pitutur orang-orang tua Sumenep, masjid itu memendam banyak cerita mengenai raja-raja kesultanan Sumenep yang akan berziarah ke makam leluhurnya di Asta Tinggi.
Di kalangan keluarga keraton Sumenep ada cerita mengenai Raden Ario Abdul Ghani Atmowijoyo, salah satu bangsawan Sumenep, yang selalu menyempatkan berhenti di Masjid Sokambang untuk shalat sebelum ziarah ke Asta Tinggi.
Episentrum Madura
Pulau Madura punya dua episentrum kebudayaan, Kabupaten Bangkalan dengan tokoh utama seperti Syaikhona Kholil di kawasan barat dan Kabupaten Sumenep dengan tokoh seperti Sultan Abdurahman Pakunantaningrat di bagian timur.
Pemerhati sosial, politik dan budaya kawasan Madura, Surokim Abdussalam mengatakan, masih banyak kekayaan budaya Madura yang belum terangkat ke publik, karenanya belum banyak orang yang mengetahui kazanah budayanya, termasuk keberadaan Masjid Sokambang dan peninggalan raja-rajanya pada masa lalu.
Penulis buku Madura 2020 dan Madura 2030 itu menambahkan, literasi rinci mengenai Madura juga masih sedikit karena tidak banyak penulis dan ahli sejarah yang datang dan melakukan penelitian di Madura. Padahal ada temuan benda bersejarah seperti nisan kuno dengan ukiran kalimat syahadat, shalawat nabi dan tulisan Jawa Kuno Caraka di sana.
"Untuk sisi timur, Sumenep memang dikenal memiliki kebudayaan yang tinggi dengan pola bahasa lebih halus dibanding daerah lain di Madura, hal ini bisa menjadi bukti tingginya kebudayaan di wilayah itu," kata Surokim, dosen komunikasi politik, media dan opini publik di Universitas Trunojo Madura.
Dia menekankan pentingnya lebih banyak penelitian mengenai sejarah dan budaya Madura untuk mengungkap misteri yang masih terpendam mengenai masa lalunya. (Ant)