Pertambangan Ancam 822 Desa Kekeringan di Jatim
SURABAYA-Hasil riset Penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengungkapkan neraca air di Jawa tidak terlalu tinggi dengan daya dukung ketersediaan air hanya berkisar satu hingga dua bulan.
Artinya, bila hujan lebih dari dua bulan tidak turun hujan bisa mengakibatkan kekeringan di seluruh Pulau Jawa, tak terkecuali di wilayah Jawa Timur (Jatim).
Terkait hal itu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jatim mengungkapkan pemicu bertambahnya desa yang diperkirakan terdampak kekeringan salah sarunya adalah kerusakan lingkungan.
“Yang dibutuhkan memperbanyak kawasan lindung menjadi kawasan resapan air. Karena kita sudah tahu situasi yang dihadapi oleh ekologi Jawa,” ungkap Direktur Eksekutif Walhi, Rere Christanto, Minggu (28/07).
Namun yang terjadi justru kebijakan pemerintah bertolak belakang dengan fakta ancaman kekeringan dimana kawasan tambang di Jatim meningkat dari 2012 ke 2016.
“Tahun 2012 luasan tambang hanya 80 ribu hektar, sedangkan tahun 2016 sudah 551 ribu hektar,” jelasnya.
Menurut Rere, luas tambang yang semakin bertambah ini turut menyumbang kerusakan kawasan hutan dan alam yang berpengaruh pada luas wilayah resapan air.
Yang cukup mengkhawatirkan, sambung Rere, yakni di Pegunungan Kars, atau daerah Tuban, Lamongan hingga ke Barat Pulau Jawa. Pertambangan yang merusak kawasan itu memengaruhi resapan air.
“Meskipun di permukaan tampak gersang, kawasan Kars bisa menyerap air dalam jumlah besar, terutama di sungai bawah tanah. Lah, itu dibongkar untuk kawasan tambang,” imbuhnya.
Kondisi tersebut diperparah dengan rusaknya ekologi pada wilayah resapan di hulu Sungai Brantas.
Data yang disebutkan Rere, tahun 2010 masih ada sekitar 111 sumber mata air di wilayah Batu dan sekitarnya dan terduksi tahun 2016 menyisakan 51 titik.
“Hampir separuh kawasan sumber mata air di Kota Batu hilang,” kata Rere.
Sebelumnya, data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Timur menyebut sebanyak 822 desa terancam kekeringan.
Angka tersebut meningkat bila dibandingkan tahun 2018 yang mencapai 725 desa.
Meski demian angka teresebut bersifat dinamis, yang bisa berkurang atau justru lebih. (jatimnet)