CSIS: Orang Gila Mana yang Racuni 500 Petugas KPPS?
JAKARTA-Liarnya tudingan Komisi Pemilihan Umum (KPU) berbuat curang dan isu 500-an petugas KPPS tewas diracuni membuat kesal Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies ( CSIS), Philips J Vermonte.
Philips kemudian memaparkan 5 poin pandangannya menanggapi liarnya isu tersebut.
Pertama, Philips menjelaskan KPU telah menjunjung asas transparansi melalui Situng dengan memperlihatkan Real Count sehingga dapat diakses publik.
"KPU taruh semua scanned C1 itu di web supaya kita semua bisa memeriksa, lalu melaporkan kalau ada kesalahan. Jadi logikanya dimana kalau KPU secara sistematis mencurangi? Kalau mau curang, tidak ada itu KPU membuka akses untuk publik melihat," jelas Philips melalui keterangan tertulisnya, Minggu (12/05).
Kedua, sambung Direktur Eksekutif CSIS itu, para caleg masing-masing dapil lebih memungkinkan berbuat curang karena tersebar dan fokus di Tempat Pemungutan Suara (TPS).
"Capres mau mencurangi TPS seperti menggarami air laut. Ingat, ada 813 ribu TPS di seluruh Indonesia; ngurus satu TPS aja sudah ada yang kelahi," ujarnya.
Poin berikutnya, Philips menjelaskan ketidaklogisan tudingan 500 orang petugas KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) tewas diracun melalui matematika sederhana dengan membandingkan Pemilu 2014 dengan 2019.
Pada pemilu 2019, kata dia, 1 TPS hanya melayani 300 orang pemilih, sementara 2014 1 TPS melayani 600 orang pemilih.
"Mari asumsikan 500 orang pahlawan pemilu kita itu tersebar di 500 TPS (satu TPS ada satu petugas meninggal dunia). Hitunglah suara yang mungkin dicurangi karena meninggalnya sang petugas: berarti 500 TPS dikali dengan 300 suara per TPS itu = 150 ribu suara. Orang gila mana yang mau meracun 500 orang hanya untuk 150 ribu suara?" paparnya.
"Jumlah pemilih kita yang terdaftar itu ada 190-an juta orang wahai bapak dan ibu sekalian. Dengan turnout sekitar 81 persen menurut quick count berarti jumlah suara adalah sekitar 154 juta suara; jadi ya bapak dan ibu sekalian: 150 ribu suara itu secara jumlah bisa diabaikan," imbuhnya.
Keempat, Philips mengungkapkan beratnya beban kerja petugas KPPS Pemilu 2019 dibanding Pemilu 2014 dimana saat itu tercatat kurang lebih 144 petugas meninggal.
"Saya kasih tahu ya, waktu kami quick count di hari itu bahkan hingga pukul 11 malam belum 100 persen data dari TPS sample kami yang masuk; artinya di lapangan masih ada banyak TPS belum selesai penghitungan, padahal quick count hanya untuk surat suara pilpres dan pileg DPR; dua kertas suara," ungkapnya.
Para petugas KPPS tersebut, kata Philips, mungkin sudah tidak tidur sejak sehari sebelumnya terlibat membangun tenda urusan admin, dll.
"Tambah lagi sehari lagi menghitung dan semalaman ada di TPS masing-masing. You, saya dan kita, habis nyoblos pulang dulu ngadem, makan, minum, tidur. Mereka stay on di TPS. Jadi, mempolitisasi meninggalnya para pahlawan pemilu ini sangat keterlaluan," ujarnya.
Yang terakhir, Direktur Eksekutif CSIS berpandangan kalaupun terjadi kecurangan di 2000 atau 3000 atau 4000 TPS tidak akan mengubah apa-apa, mengingat ada 813 ribu TPS tersebar di seluruh Indonesia.
"Tentu saja, sama seperti Anda semua, saya sangat ingin melihat pemilu yang 100 persen bersih. Saya sudah kasih warning di awal bahwa beberapa kalimat saya akan politically incorrect. Mohon dimaafkan," tutupnya.