Infrastruktur, BUMN, Kecelakaan dan Utang
Dalam kurun waktu 2018, Presiden Joko Widodo terus menerus menyuguhkan kisah peresmian-peresmian proyek-proyek infrastruktur. Diawal tahun Joko Widodo datang ke Lampung untuk meresmikan infrastruktur Jalan Tol Sumatera di Provinsi Lampung.
Parade peresmian dipertotonkan di media massa nasional dan lokal. Presiden Joko Widodo pun melakukan aksi dengan menumpangi kendaraan truk di pintu tol Pelabuhan Bakauheni Lampung.
Sebuah aksi rutin dari Presiden RI Ketujuh ini, disetiap momen peresmian infrastruktur selalu diikuti aksi-aksi teatrikal-kolosal yang mengundang decak kagum (sebagian) orang-orang yang melihat aksi tersebut.
Keberadaan Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS) memiliki makna penting bagi pemerintahan Joko Widodo. Mengapa? Jawabannya adalah pada era pemerintahan ini lah JTTS dapat dieksekusi di lapangan.
Hal ini harus secara objektif diakui. Namun, jika menilai apakah eksekusi kebijakan tersebut berhasil? Hal ini perlu ditinjau dari berbagai aspek, baik itu aspek teknis maupun aspek non teknis.
Aspek Teknis
Pemerintah melalui kementerian PUPR memprogramkan target penyelesaian beberapa ruas yang sudah tertuang dalam Perpres No. 100/2014, diantaranya adalah ruas Bakauheni-Terbanggi Besar (Lampung), ruas Palembang-Indralaya, ruas Medan-Binjai di Sumatera Utara, lalu ruas Pekanbaru-Dumai.
Sampai dengan akhir tahun 2018 lalu ruas-ruas tersebut masih dalam proses konstruksi dan pembebasan lahan. Bahkan Basuki Hadimuljono, Menteri PUPR di awal Kabinet Kerja menjanjikan penyelesaian ruas JTTS Lampung-Palembang, untuk mendukung Asian Games 2018, meleset dari target. Janji ini terekam dalam pernyataan-pernyataan Basuki Hadimuljono di media-media nasional.
PT. Hutama Karya sebagai BUMN diberikan hak khusus (privilege) dalam membangun, mengoperasikan, sekaligus mengelola Jalan Tol Trans Sumatera.
Mekanisme ini disebut dengan istilah “penugasan”. Dalam penugasan kepada BUMN tersebut tentu memberikan tanggung jawab baik itu kepada pemberi tugas dan pelaksana tugas itu sendiri.
Penyertaan Modal Negara ke BUMN
Pada awal pemerintahannya, Joko Widodo menggebrak dengan membuat gebrakan berupa Penyertaan Modal Negara (PMN) yang jumlahnya puluhan triliun rupiah kepada BUMN.
Maksud dari PMN ini tentu idealnya sebagai stimulus dan capital support terhadap BUMN agar bersemangat dalam melaksanakan tugas dari pemerintah untuk mengerjakan proyek-proyek infrastruktur prioritas dan strategis.
Terjadi pro dan kontra dalam mekanisme PMN ini, termasuk sebagian fraksi dan anggota DPR RI menolak mekanisme ini karena dianggap akan membebani APBN yang sudah menganut prinsip defisit anggaran.
Namun pemerintah melalui kementerian BUMN, Kementerian Keuangan meyakinkan bahwa mekanisme PMN kepada BUMN tidak akan membebani APBN. PMN dalam versi pemerintah merupakan solusi atas handicap pembangunan infrastruktur di Indonesia.
Apakah ini benar adanya? Tentu harus dilakukan kajian yang mendalam atas hal ini. Juga harus dilakukan monitoring sekaligus evaluasi terhadap efektifitas dan efisiensi PMN ini bagi BUMN yang menerimanya.
BUMN penerima PMN pada awal pemerintahan Joko Widodo : PT. Hutama Karya Rp. 3,6 triliun, PT. Waskita Karya Rp. 3,5 triliun, PT Adhi Karya Rp. 1,4 triliun, PT. Perumnas Rp. 2 triliun. PT. Angkasa Pura II sebesar Rp. 2 triliun.
Hingga total PMN secara keselurahan yang disepakati Pemerintah dan DPR RI adalah sebesar Rp. 37,276 triliun, melalui persetujuan RAPBN tahun 2015. Kemudian berturut-turut pemerintah mengucurkan PMN kepada BUMN pada tahun-tahun selanjutnya, 2016 dan 2017, dan mengalami kenaikan besaran jumlah PMN ini.
Harus Dievaluasi
Jelang berakhirnya pemerintahan yang dipimpin oleh Joko Widodo seyogyanya dilakukan evaluasi serta koreksi atas mekanisme PMN kepada BUMN-BUMN ini.
Sejauh mana pengaruh positif PMN ini terhadap kinerja dan capaian program khususnya capaian target infrastruktur yang diharapkan. Jangan malahan PMN dikucurkan, yang sudah barang tentu membebani APBN, namun target dan capaian yang diharapkan meleset.
Setali tiga uang dengan tema PMN, penugasan kepada BUMN dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah menganggap bahwa penugasan kepada BUMN, yang dibingkai melalui Peraturan Presiden, merupakan cara yang tepat dalam melakukan percepatan pembangunan infrastruktur.
Sebagai contoh penugasan PT. Hutama Karya, dalam pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera dijadikan role model oleh pemerintah dalam pembangunan infrastruktur-infrastruktur lainnya. Dalam skema penugasan ini, BUMN diberikan tanggung jawab penuh dalam hal teknis, administrasi dan keuangan.
Dengan kata lain, tugas berat bagi BUMN untuk menyelesaikan tugas sebagai pelaksana dan pengelola proyek-proyek infrastruktur, diantaranya adalah jalan tol. BUMN diberikan tugas ekstra berupa mencari formulasi yang tepat untuk pembiayaan proyek. Yang pada akhirnya tentu pembiayaan-pembiayaan ini akan mengganggu neraca dan ekuitas perusahaan.
BUMN dipastikan akan berpikir dan berupaya keras untuk mencari sumber-sumber pembiayaan. Hutang perbankan, penerbitan surat hutang (obligasi) dan lain-lain merupakan upaya atas konsekuensi penugasan tersebut. Menurut catatan dan data yang didapat, dalam kurun waktu sepanjang tahun 2017, BUMN-BUMN Karya mengalami penurunan nilai harga saham mereka. Sebut saja PPRO (-85%), WASKT (-27%), PTPP (-30%), dan WIKA (-21%).
Menyisakan Persoalan
Kenyataan-kenyataan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa penugasan-penugasan kepada BUMN dalam percepatan proyek infrastruktur justru menyisakan persoalan beban ekuitas dan hutang yang didera oleh BUMN tersebut.
Tentu hal ini tidak serta merta menjadi tanggung jawab pihak manajemen dan pimpinan BUMN, namun sebagai pemilik, sebagai share holder mayoritas pemerintah pun patut dan wajib bertanggung jawab.
Pada era Joko Widodo ini rasio hutang dalam pembiayaan infrastruktur dalam APBN meningkat tajam. Pada tahun 2015, dalam kisaran 67,2% proyek infrastruktur dibiayai oleh hutang. Pada tahun 2016, total anggaran yang dibiayai utang berkisar 66,8%.
Selanjutnya pada tahun 2017 rasio utang melonjak sangat tajam menjadi 99,3% dari total anggaran infrastruktur. Tentang kondisi ini tentu tidak dapat dipungkiri, bahwa sektor infrastruktur telah memberikan beban hutang kepada pemerintah (negara).
Sebagai contoh sengkarut pembiayaan atas proyek LRT Jabodebek dan LRT Palembang, berdasar jejak digital yang dapat ditemukan, pihak BUMN yang ditugasi oleh pemerintah, PT. Waskita Karya dan PT. Adhi Karya mengalami kebingungan dalam skema pembiayaan di awal proyek ambisius tersebut.
Kementerian teknis, dalam hal ini Kemenhub, BUMN dan Kemenkeu belum menemukan kata sepakat dan belum menemukan skema pembiayaan yang tepat. Namun secara kenyataan PT. Waskita Karya dan PT. Adhi Karya sudah melaksanakan pembangunan konstruksi, dan membiayai sendiri proyek tersebut yang bersumber dari modal perusahaan.
Menjadi paradoks pada akhirnya, aturan atau skema pembiayaan belum final dan disepakati oleh pemangku kebijakan, namun konstruksi proyek sudah dilaksanakan di lapangan oleh BUMN untuk mengejar target penyelesaian konstruksi.
Kecelakaan
Kondisi ini terkesan dipaksakan, kemungkinan diprediksi akan menimbulkan masalah baru di kemudian hari, tak terkecuali masalah non teknis dan hukum. Kondisi-kondisi di atas diperparah dengan terjadinya kecelakaan-kecelakaan yang diakibatkan karena kesalahan konstruksi.
Masih segar dalam ingatan kita bahwa terjadi banyak korban jiwa pada mudik lebaran tahun 2016 lalu. Kecelakaan tersebut terjadi dikarenakan dugaan minimnya fasilitas rest area dan fasilitas lainnya.
Jalan tol menuju pintu keluar Brebes menjadi saksi dan bukti, bahwa korban jiwa yang terjadi dikarenakan terjadi penumpukan kendaraan di jalan tol selama berhari-hari macet dan tidak bergerak.
Belasan korban jiwa menjadi korban akibat akrobatik Kementerian PUPR dan Kemenhub yang ingin show of-menunjukkan kelancaran mudik lebaran tahun 2016 melalui jalan tol. Padahal kondisi dan fasilitas jalan tol tersebut masih belum layak dan minim fasilitas untuk dilalui kendaraan yang berjumlah ratusan ribu kendaraan saat itu.
Seperti diketahui juga bahwa selama tahun 2017-2018 terjadi kecelakaan-kecelakaan kerja yang dialami pelaksana konstruksi jalan tol. Sebut saja kecelakaan pekerja tol dan konstruksi lainnya.
Terjadi kecelakaan ambruknya crane proyek Double-Double Track (DDT) Mataram-Manggarai di Jakarta, yang mengakibatkan empat pekerja meninggal dunia.
Lalu terjadi kecelakaan lagi dalam bulan yang sama, Februari 2018 kecelakaan tiang pancang proyek tol Becakayu, Jakarta ambruk dan menimpa pekerja. Serta kecelakaan-kecelakaan konstruksi pada proyek infrastruktur lainnya terjadi sepanjang tahun tersebut.
Hal ini disinyalir akibat proyek infrastruktur yang kejar tayang, sehingga mengesampingkan sisi keamanan dan keselamatan kerja. Yang kemungkinan besar nantinya akan berimplikasi pada kualitas konstruksi yang dihasilkan.
Kecelakaan kerja dan kecelakaan lainnya yang diakibatkan kelalaian pelaksana proyek dan pembuat kebijakan (pemerintah) sudah tentu pada akhirnya akan menjadi penilaian serta membentuk opini masyarakat terhadap proyek-proyek infrastruktur tersebut.
Hal yang sangat wajar dan lumrah bila terjadi ragam penilaian dari masyarakat atas kondisi-kondisi dan fakta-fakta yang terjadi selama pelaksanaan proyek infrastruktur tersebut dilaksanakan
Baik ragam penilaian teknis dan non teknis, seperti halnya beban utang pemerintah/ BUMN, pembiayaan (anggaran) dan potensi permasalahan hukum ke depannya.
*Oleh: Suhendra Ratu Prawiranegara Pemerhati Infrastruktur Publik, Mantan Staf Khusus Menteri PU dan dan Menteri PUPR.