Inilah Pemicu Kebocoran Anggaran yang Diungkap KPK
Jakarta-Litbang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengungkap angka APBN Indonesia mestinya Rp4.000 triliun. Sementara saat ini, total APBN hanya mencapai Rp2.000-an triliun.
Merujuk pada fakta tersebut, Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan memastikan adanya kebocoran anggaran.
Analis ekonomi politik Kusfiardi menilai kebocoran itu terjadi karena aktivitas shadow economy yang tidak dijangkau oleh pemerintah dan potensi pajak yang ada didalamnya justru menguap begitu saja.
Bahkan, sambung dia, Kebocoran juga terjadi akibat kegagalan pemerintah dalam menentukan tarif dan basis pajak.
Lebih jauh Kusfiardi menjelaskan, target yang dipatok untuk penerimaan pajak di Indonesia ternyata baru 50% dari potensi yang ada.
"Dengan kondisi itu, pendapatan negara mengalami kehilangan potensi sebanyak dua kali. Pertama dari segi perhitungan target sudah hilang 50%. Lalu kedua, dari target yang hanya 50% dari potensi yang ada juga tidak bisa dipenuhi," jelas Kusfiardi di Jakarta, Sabtu (13/04/2019)
Gambaran ini, jelas dia, menunjukkan bahwa rasio antara penerimaan pajak terhadap potensinya tidak optimal.
“Akibatnya penerimaan pajak kita menjadi tidak optimal karena pemerintah tidak fokus pada upaya memperkuat basis pajak,” ujarnya.
Co-Founder FINE Institute ini memaparkan, titik kebocoran lainnya adalah offshore tax evasion yang masih belum bisa diatasi walaupun sudah ada instrumen automatic exchange of information (AEoI).
Begitu pula dengan base erosion and profit shifting (BEPS) atau menempatkan penghasilan di negara yang memberikan fasilitas pajak rendah.
“Kebocoran lainnya ada manipulasi data alias unreported and unpaid tax, pelaporan pajak tidak sesuai dengan data,” urainya.
Kusfiardi lalu memaparkan tolak ukur kebocoran juga bisa terlihat dari GDP Indonesia terus naik dari tahun ke tahun, namun tax ratio-nya fluktuatif.
Sementara idealnya, kemajuan perekonomian suatu negara linier dengan tax ratio, seperti di kawasan ASEAN, PDB Indonesia merupakan yang tertinggi, untuk Asia diurutan kelima, dan urutan ke lima belas dunia.
Namun tax ratio Indonesia justru lebih rendah dibanding nilai rata-rata tax revenue to GDP ratio dunia di level 15,06% (World Bank: 2016).
“Angka ini masih lebih rendah dibandingkan Malaysia 14,4%, Filipina 13,67%, Singapura 14,29%, dan Kamboja 15,3%,” sambung Kusfiardi.
Karena itu, Kusfiardi mendesak adanya pembenahan regulasi dan kebijakan dengan tujuan meningkatkan kepatuhan pajak (tax compliance).
Tujuannya, agar bisa meninngkatkan tax ratio dan kepatuhan pajak bisa meningkat.
“Maka biaya kepatuhan (compliance cost) juga harus diperhatikan.Dengan semakin rendah biaya yang ditanggung untuk melaksanakan kewajiban perpajakan, semakin tinggi kepatuhan pajak,” jelasnya.
Selain itu, Kusfiardi juga meminta penguatan kewenangan otoritas pajak dengan cara melepas lembaga perpajakan dari Kementerian Keuangan, menjadi lembaga otonom yang bertanggung jawab kepada presiden.
Pemisahan ini disertai dengan sejumlah kewenangan yang memperkuat lembaga otoritas pajak.
“Sayangnya sepanjang pemerintahan Jokowi tak pernah merealisasikan dengan sungguh-sungguh agenda kebijakan untuk mengatasi kebocoran pendapatan negara yang disebut oleh KPK,” pungkasnya.