Kata ahli soal tingkat keampuhan vaksin Sinovac
Vaksin Sinovac dengan efikasi 63,3% diyakini tetap aman untuk melindungi masyarakat dari paparan Covid-19. Efikasi atau tingkat keampuhan tersebut sudah melebihi standar World Health Organization (WHO) sebesar 50%.
Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menyampaikan, vaksin adalah upaya negara dalam melindungi masyarakat dari ancaman pandemi Covid-19 dan demi tercapainya kekebalan komunitas atau herd immunity.
"Kami telah menerima rekomendasi dari WHO (World Health Organization), bahwa nilai efikasi di atas 50% dapat diterima," kata Wiku, beberapa waktu lalu.
Sedangkan ahli epidemiologi Griffith University Australia Dicky Budiman menyampaikan, hasil final efikasi vaksin CoronaVac produksi Sinovac di Brasil sebesar 50,4% tidak berpengaruh dengan efikasi vaksin di Indonesia, sehingga masyarakat tidak perlu cemas.
Angka efikasi di Brasil maupun di Turki tidak bisa disamakan dengan efikasi di Indonesia karena proses uji klinis tahap III-nya pun berbeda.
"Hasil yang sedikit di atas threshold WHO itu tetap memiliki makna karena tetap memiliki efikasi yang memenuhi standar, itu tetap bisa kita gunakan sebagai pelindung," kata Dicky.
Dia mengungkapkan, vaksin CoronaVac memang berbeda dari merek vaksin lain. Hal itu lantaran perusahaan Sinovac Biotech mempersilakan proses uji klinis tahap III dilakukan di daerah pemesan, yakni Brasil, Turki, dan Indonesia.
Terbitnya izin penggunaan darurat atau emergency use authorization (EUA) menandakan vaksin Sinovac sudah cukup memadai untuk digunakan. Sebab, hasil uji klinis fase III di Bandung telah menunjukkan efikasi vaksin Sinovac sebesar 65,3%.
"Efikasi yang memadai, saya sampaikan memadai karena sudah memenuhi threshold," ujarnya.
Vaksinolog Dirga Sakti Rambe mengatakan angka efikasi 65,3% sudah cukup meyakinkan bahwa vaksin Sinovac untuk Indonesia aman dan efektif. "Melebihi standar minimum efikasi WHO 50%," ujar Dirga.
Kepala BPOM Penny Lukito menjelaskan, efikasi di Brasil berubah-ubah karena efikasi tidak dapat dibandingkan dengan platform yang berbeda, walaupun platformnya sama dengan uji klinis di lokasi berbeda pun tidak dapat dibandingkan. Hal tersebut dikarenakan banyaknya parameter yang menentukan.
"Pertama dari relawan sudah berbeda, jumlahnya berbeda, kemudian tingkat risiko dari relawan berbeda di Brasil 100% adalah tenaga kesehatan, dan di Turki 20% adalah tenaga kesehatan dan 80% pekerja berisiko. Di Indonesia umum, dan ini justru lebih merepresentasikan masyarakat secara umum," ujar Penny.