Lembaga Penjaga Moral Bangsa Tercoreng
Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK yang terhadap Ketua Umum Partai PPP, Romahurmuziy, di Surabaya, Jumat (15/03) lalu cukup mengejutkan jagat perpolitikan Indonesia.
Sebagaimana diketahui Parpol PPP ini adalah salah satu partai pengusung untuk Capres-Cawapres petahana Joko Widodo-KH. Ma'ruf Amin.
Penulis juga tentu publik tidak menyangka sedikitpun bahwa peristiwa ini menimpa politisi muda seperti Romahurmuziy.
Sebenarnya kasus korupsi yang melibatkan Ketua Umum PPP, pernah terjadi pada masa Suryadharma Ali. Yang mana saat ini Suryadharma Ali telah divonis dan menjalani hukuman dalam kasus korupsi dana haji.
‘Serupa tapi tak sama’, demikianlah kira-kira pengistilahan antara kasus yang menimpa Romahurmuziy dan Suryadharma Ali.
Serupa dikarenakan terindikasi melakukan perbuatan melawan hukum dan tindak pidana korupsi.Serupa berikutnya adalah karena keduanya sama-sama berstatus Ketua Umum partai.
Tak sama, pertama karena kasus Suryadharma Ali tentang penyalahgunaan dana haji yang dikelola oleh Kementerian Agama, sementara Romahurmuziy atau biasa disebut Romi diduga melakukan menerima suap dalam proses penentuan posisi jabatan di Kementerian Agama.
Tak sama selanjutnya adalah pada saat terjadi kasus hukum tersebut, Suryadharma Ali tengah menjabat sebagai Menteri Agama, sedangkan Romi hanya sebatas Ketua Umum partai yang cukup dekat dengan capres petahana.
Hal ini dapat dibuktikan dalam dinamika proses penentuan Cawapres KH. Ma'ruf Amin, sebagai pendamping Capres Joko Widodo.
Romi menunjukkan kepiawaiannya dalam berpolitik, menunjukkan kelas politiknya, sehingga akhirnya menyebabkan salah satu faktor tidak terpilihnya Prof. Mahfud MD sebagai Cawapres kala itu.
Hal ini terkonfirmasi oleh Prof Mahfud MD pada suatu acara di salah satu stasiun televisi, tentang bagaimana peran strategis seorang Romi dalam penetapan dan terpilihnya KH. Ma'ruf Amin sebagai pendamping Joko Widodo pada kontestasi Pilpres 2019.
Masa Keemasan Kemenag
Kementerian Agama, dalam sejarahnya pernah memiliki masa keemasan saat dipimpin oleh Letjen TNI (Pur) H. Alamsyah Ratu Perwiranegara. Penunjukkan Alamsyah RPN sebagai Menteri Agama kala itu dipertanyakan dan diragukan banyak pihak.
Dikarenakan baru pertama kalinya dalam sejarah seorang Menteri Agama berlatar belakang militer.
Karena sejak jaman Orde Lama, era Bung Karno, jabatan Menteri Agama selalu dipercayakan kepada tokoh-tokoh besar organisasi keagamaan tertentu yaitu Nahdlatul Ulama (NU, Masyumi atau Muhammadiyah.)
Tradisi ini diteruskan kembali oleh Pak Harto, pada era Orde Baru di masa awal berkuasa, dengan kembali menunjuk KH. Moh. Dahlan sebagai Menteri Agama yang berasal dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU).
Letjen Alamsyah menjadi Menteri Agama Kabinet Pembangunan III, menggantikan Prof. Mukti Ali. Letjen Alamsyah ditugasi oleh Presiden Soeharto, dikarenakan masih terdapatnya pertentangan dikalangan umat Islam khususnya tentang azas tunggal atau ideologi Pancasila.
Kerisauan Presiden Soeharto tersebutlah yang melatar belakangi penunjukkan Alamsyah Ratu Prawiranegara sebagai Menteri Agama. Kerukunan antar umat beragama masih dirasa ada semacam handicap yang menjadi penghalang pada masa itu.
Menag Alamsyah hadir dengan konsep “Trilogi Umat Beragama”, yakni suatu konsep yang mengatur tentang kerukunan antar umat seagama, kerukunan antar umat beragama yang berlainan agama, kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah, yang mana pada akhirnya Alamsyah Ratu Perwiranegara sebagai Menteri Agama berhasil meyakinkan kalangan umat Islam, kalangan pesantren-pesantren, ormas-ormas keagamaan tentang Pancasila.
Keberhasilan Alamsyah dalam membumikan Pancasila di Nusantara, hingga saat ini dan selama republik ini berdiri tentu harus mendapat apresiasi dan penghormatannya.
Pada era Alamsyah pula lah marwah Kementerian Agama (Departemen Agama masa tersebut) menempati posisi puncak dan terhormat.
Dengan membentuk dan mengoptimalkan Kantor Wilayah (Kanwil) di seluruh Indonesia. Alamsyah juga membentuk Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Budha, yang pada masa sebelumnya masih bergabung dengan Ditjen Bimas Hindu.
Pada masa Alamsyah menjabat sebagai Menag, mengeluarkan keputusan hari libur sekolah selama bulan puasa Ramadhan. Yang pada akhirnya Alamsyah bersitegang dengan Mendikbud Daud Jusuf yang berkeinginan mencabut peraturan libur sekolah selama bulan puasa Ramadhan.
Alamsyah pula yang menginisiasi tayangan azan di media elektronik, TVRI dan Radio, hasil karya luhur itu pun masih berlaku hingga sekarang ini.
Semua hal tersebut yang dilakukan oleh seorang Alamsyah Ratu Prawiranegara dalam rangka membumikan Konsep Trilogi Umat Beragama dan membumikan Pancasila sebagai azas tunggal dan ideologi bangsa dikalangan umat beragama, khususnya Umat Islam.
Keruntuhan Moral Lembaga
Keberhasilan Alamsyah Ratu Prawiranegara dan para pendahulu membuat marwah Kementerian Agama menjadi lembaga pemerintahan yang bermartabat dan dirasakan kehadirannya sebagai mediator dan regulator antar umat beragama di Indonesia, namun ibarat kata pepatah “Akibat Nila Setitik, Rusak Susu Sebelanga.”
Apa yang terjadi atas kasus korupsi mantan Menag Suryadharma Ali dan terindikasinya keterlibatan Menag Lukman Hakim Saifuddin dalam kasus OTT Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Romahurmuziy, tentu akan berimplikasi kepada citra dan marwah Kementerian Agama itu sendiri.
Marwah ini telah dibangun dengan susah payah oleh para pendahulu, runtuh dan tercoreng atas kasus yang menjerat para petinggi Kementerian dan Parpol tersebut.
Seperti disebutkan oleh salah satu komisioner KPK, seyogyanya justru Kementerian Agama lah yang menjadi rujukan dan contoh terdepan dalam good governance dan pemberantasan korupsi.
Bukan malah sebaliknya memberikan contoh yang tidak baik bagi publik dan perjalanan sejarah bangsa.
Peristiwa OTT Romahurmuziy alias Romi, Ketua Umum Partai PPP non aktif, disertai tertangkapnya beberapa pejabat Kementerian Agama, serta terindikasinya keterlibatan pimpinan kementerian, menjadikan catatan kelam sejarah Kementerian Agama RI, semoga dibalik semua ini terdapat hikmah yang akan membuat berbagai pihak agar benar-benar konsisten antara perilaku dan ucapan dan benar-benar konsisten terhadap pemberantasan dan pencegahan korupsi yang merugikan semua pihak.
Oleh: Suhendra Ratu Prawira (Tim BPN Prabowo-Sandi).