Politisasi Agama 'Kompori' Emosi Publik
Jakarta-Pascareformasi harusnya politik tumbuh menjadi peradaban yang lahir dari pemikiran. Bukan sebaliknya, politik digiring pada ekspresi perasaan melalui politisasi agama.
"Yang membuat kenapa simbolisasi agama jadi sedemikian marak, karena ruang politik kita digiring ke ekspresi perasaan," kata Dzul Fikar Ahmad, Sekjen PP Pemuda Muhammadiyah dalam diskusi bertema “Pilpres dan Politisasi Simbol Agama”di Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (04/04).
Menurutnya, politik harus jadi ekspresi pemikiran dan tidak boleh dibawa jadi ekspresi perasaan melalui politisasi agama.
"Karena dibawa ke ekspresi pemikiran yang lahir adalah narasi dan gagasan. Kalau dibawa ke ruang emosi justru akan melahirkan emosi," ujarnya.
Politik, sambung dia, penting untuk dibawa ke ruang ekspresi pemikiran. "Supaya politik betul-betul tujuan akhirnya pada kemanusiaan, sehingga kita bisa menekan pragmatisme dalam politik," pungkasnya.
Sementara Pengamat Politik dan Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR), Ujang Komarudin menilai sah-sah saja agama dijadikan ideologi yang kuat digunakan untuk politik.
"Tapi ketika agama dijadikan alat legitimasi politik ini jadi masalah. Yang terjadi sekarang seperti itu. Kita harus mendudukkan secara benar," jelasanya dalam diskusi tersebut.
Menurunya, problem pemahaman masyarakat tentang agama acap kali digunakan pihak tertentu untuk melegitimasi politik.
"Kita sedih bagaimana agama dibenturkan dengan politik, kita sedih ketika agama jadi alat untuk legitimasi politik. Agama apapun tidak salah, agama jadi kekuatan, bahwa bekerja itu ibadah, politik juga ibadah, tapi manusianya mengalami penyempitan dalam cara berpikir, ini jadi persoalan," paparnya.
Ujang kemudian menawarkan solusi untuk mengatasi persoalan terebut, yakni media perlu memberikan kesadaran kepada masyarakat yang belum melek secara politik.
"Jika agama digunakan sebagai alat legitimasi politik, sesungguhnya masyarakat yang harus memilah," pungkasnya.