Sertifikasi Nelayan Lecehkan Bangsa Bahari
JAKARTA-Rencana Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang akan melakukan sertifikasi atas profesi nelayan mendapatkan penolakan dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA).
Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menyatakan masyarakat bahari, khususnya nelayan skala kecil atau nelayan tradisional dan nelayan yang menggunakan kapal di bawah 10 GT, tidak membutuhkan sertifikasi sebagai identitas nelayan atau perempuan nelayan.
Menurutnya, rencana sertifikasi nelayan yang direncanakan KKP tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan melecehkan identitas bangsa Indonesia sebagai negara bahari dimana mayoritas nelayannya adalah nelayan tradisional dan nelayan kecil.
“Di 100 hari gebrakan dari Menteri Kelautan dan Perikanan, Bapak Edhi Prabowo seharusnya tidak bicara sekedar sertifikasi nelayan. Nelayan tidak butuh disertifikasi, nelayan butuh laut, tantangannya berani atau tidak menteri baru ini menyelesaikan konflik di Pulau Pari, Pulau Romang, Pulau Wawonii, bukan sekedar mengurus sertifikasi nelayan,” ujar Susan via rilis yang diteima jatimpos.id, Selasa (12/11).
KIARA menilai sertifikasi ini hanya akan mempersulit kehidupan nelayan skala kecil atau nelayan tradisional, yang merupakan mayoritas pelaku perikanan di Indonesia.
“Kami mempertanyakan landasan hukum rencana sertifikasi nelayan, khususnya nelayan skala kecil dan nelayan tradisional,” imbuhnya.
Lebih jauh, Susan mengatakan, sertifikasi yang akan didorong oleh KKP ditujukan untuk memenuhi kepentingan pasar perikanan, khususnya Eropa, Amerika, dan Jepang.
Dalam konteks ini, sambung aktivis perikanan ini, yang perlu disertifikasi oleh KKP adalah pelaku perikanan skala besar, yang menggunakan kapal di atas 30 GT.
“Daripada merencanakan sertifikasi nelayan, KKP seharusnya menjalankan mandat penting yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam,” tegas Susan.
Susan menilai, UU No. 7 Tahun 2016 merupakan aturan yang sangat penting dalam rangka melindungi dan memberdayakan nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam.
Namun, jelas dia, sampai dengan tahun 2019 KKP belum memiliki aturan turunan kecuali Peraturan Menteri KP No. 18 Tahun 2018 tentang Jaminan Perlindungan Atas Risiko Kepada Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam.
Berdasarkan hal itu, KIARA menilai setelah tiga tahun diberlakukannya UU N0. 7 Tahun 2016 KKP tidak bekerja serius untuk melindungi dan memberdayakan nelayan. Ironisnya, ditengah ketidakseriusan bekerja, KKP malah berencana melakukan sertifikasi nelayan.
“Ini adalah fakta penting yang perlu menjadi perhatian Menteri baru, Edhy Prabowo,” tutur Susan.
Terkait dengan sertifikasi Cara Berbudidaya Ikan yang Baik (CBIB), KIARA menyatakan, sertifikasi memiliki kelemahan yang paling mendasar, yaitu tidak adanya aspek perlindungan hak asasi manusia, aspek lingkungan hidup secara komprehensif dan aspek keadilan gender.
CBIB dinilai hanya mengatur urusan teknis budidaya semata.
Selain itu, dalam praktiknya CBIB dianggap telah gagal melindungi pembudidaya ikan dari praktik pelanggaran HAM sebagaimana terjadi di pertambakan udang Bumi Dipasena, Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung.
“Sejak tahun 2015, kami telah melakukan kajian terhadap CBIB. Perlu dilakukan evaluasi terhadap sertifikasi ini. Isinya hanya mengatur teknis budidaya semata. Tetapi isu manusia (keadilan HAM dan keadilan gender) serta lingkungan hidup tak ada di dalamnya,” imbuh Susan.
“KIARA meminta KKP untuk membatalkan rencana sertifikasi nelayan dan sekaligus meninjau ulang CBIB serta berbagai sertifikasi lainnya yang hanya berorientasi pasar semata. Tak hanya itu, KIARA meminta KKP untuk segera mengimplementasikan UU No. 7 Tahun 2016,” tutupnya.